Sisi Lain Medsos: Perang Komentar

Sumber: www.pixabay.com
Dahulu, orang mendapatkan berita dan informasi dari media cetak, TV dan radio, iya kan? Nah ketika membaca koran, mendengar radio, dan melihat TV itu kita tidak bisa memberi feedback atas informasi yang kita dapat. Jadi kalau sebel atau tidak setuju sama beritanya ya cuma ngomel sendiri, paling mentog ya jadi ngedumel ke suami (itu aku), atau jadi bahan jagongan sama tetangga. Kalau yang orang-orang pinter mah bisa menanggapinya dengan menulis artikel tandingan, tapi kan peluang dimuatnya di koran ya sedikit sekali.
Lalu sekarang? Sekarang jamannya internet, semua informasi begitu mudah tersaji. Kita bisa memperoleh berbagai macam informasi dengan hanya menggerakkan jempol kita. Sampai-sampai bapakku yang memang sudah sepuh itu heran, bagaimana bisa mencari informasi di internet hanya butuh beberapa detik saja, dan bagaimana bisa informasi itu ada di internet? (Waktu itu beliau penasaran dengan suatu hal, lalu segera aku googling-kan). Pokoknya beyond his imagination lah. Nah, yang bikin seru nih, hampir semua layanan di internet punya menu "comment". Jadi kita bisa memberikan feed back atas apa yang kita baca.

Runyamnya, makin ke sini, orang makin liar dalam berkomen, terutama komentar di sosial media. Iya, bener, sangat liar. Seolah-olah, karena tidak berhadapan langsung dengan yang diberi komen, maka orang-orang ini bisa komen sesukanya, tak ada takutnya, tak ada sungkannya. Biasanya berita yang menyangkut SARA, instagram para artis, status FB yang menyangkut dunia ibu-ibu dan berita politik yang penuh dengan komentar tak sedap. Akan tetapi, orang nyinyir itu mungkin bakat kali ya, sampai ada juga status atau foto yang tak bertendensi apapun, juga dikomentari negatif. Di sinilah kadang jadi bola saljunya, satu orang komentar jelek, lalu yang lain menyanggah/menimpali tapi dengan kata-kata yang tak patut juga. Akhirnya sama aja, jadi cerca-cercaan sendiri. Sama-sama berkomen kasar, baik dari pihak yang nyinyir atau pihak yang mencoba meng-counter.


Berikut contoh yang kudapat dari akun IG seorang artis. Dalam satu postingannya, si artis meng-upload fotonya bersama teman-temannya. Fotonya biasa saja, tapi di kolom komen ramenya nggak ketulungan.

Pertama si A komen begini terhadap si artis.


Kemudian si B mengomentari si A


Si C juga mengomentari si A


Si D juga mengomentari si A



See? Serem kan? Banget. Kata pepatah Jawa "ajining diri ana ing lathi", harga diri seseorang ada pada lisannya. Jadi entah di pihak manapun, kalau yang keluar dari mulutnya kata-kata kasar dan sumpah serapah, sama saja jadinya kan? Maka saya salut sama artis Oki Setiana Dewi, ketika dirinya digunjing sana sini, dia memilih diam. Nggak diam juga sih sebenarnya.dia sudah ngasih jawaban di IG nya, barang siapa ingin tahu tentang perkara sekolahnya di Arab itu, maka baca saja bukunya. Gitu aja jawabannya. Bener juga sih menurutku, soalnya kalau makin ditangkis atau kasih komentar macem-macem, nanti malah semakin jadi bola salju. 

Sumber: pixabay.com

Terus ada juga Yusuf Mansur yang bikin kajian satu arah di group WA. Jadi tiap hari UYM ngasih materi singkat, terus peserta suruh membaca dan merenungkan sendiri. Peserta tak boleh berkomentar ataupun membalas atau mendiskusikan materi tersebut di group. Pokoknya berkomentar apapun bakal dikeluarin dari group. Kalau ingin bertanya atau berkomentar, harus melalui email. Ini aku juga suka dengan idenya. Soalnya di mana-mana (berbagai sosmed) kan kita sudah biasa berkomentar, jadi di sini kita diajarkan mengendalikan diri untuk tidak asal komen. Kebayang kan kalau boleh komen, pasti suasana grup jadi gaduh plus nanti kalau ada yang nggak setuju dengan isi artikel mungkin bakal eyel-eyelan sendiri. Lha baru pertama grup dibentuk aja sudah pada komen sendiri, ada yang memperkenalkan diri, ada yang ucap salam, ada yang bilang bismillah dsb. Lha kalau gitu terus materinya bakal tenggelam dong di antara postingan ratusan orang.

Namun, baru beberapa hari, ternyata ada anggota yang sudah tidak betah kalau cuma sekadar nyimak. Dia posting sendiri, seperti berikut cuplikannya,


Padahal di awal peraturannya sudah jelas, barang siapa berkomentar bakal dikeluarkan. Lha ini malah posting materi, mau menyaingi UYM, karena menilai materi UYM nggak berbobot. Menurutku itu nggak banget deh. Secara ini lapak e orang lain. Mungkin semangatnya mencari ilmu agama lagi tinggi-tingginya, jadi meletup-letup. Kemudian beberapa orang terpancing berkomentar dan ikut menyerang si Admin. Akhirnya Admin turun tangan, dan baru bisa reda. Capeekk deehhh.

Di sini saya baru sadar, dalam hal apapun, ternyata akhlak dan budi pekerti melandasi semua hal. Seperti contoh-contoh di atas, mengingatkan atau menasehati tidak memerlukan kata-kata yang buruk dan bagaimana perlunya menaati peraturan yang ada.

Hmm...sejatinya postingan ini mau diikutkan lomba, tetapi karena semalam keluar, nggak kelar deh tulisannya. (Sukanya mepet deadline)

Comments

  1. Iya mba, sama. Aku juga sebel kalo baca postingan yang menghujat. Sekarang watak asli manusia bisa ketahuan cuma lewat medsos

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, bisa melihat gambaran isi hati dari medsos

      Delete
  2. Iya mba sekarang seren, share 1 artikel ntar di sindir2 bla..bla..boro2 jadi artis wong saya org biasa masih ada aza yang nyinyir hahaha..
    tp oke juga y aturan group WA-nya UYM, kalau mau gabung gimana caranya mba?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Berarti mbak sudah bakat itu jadi artis hahaha. Waktu itu info pendaftarannya aku dapat dari IG beliau. Daftar ke suatu nomor hp gitu, tp aku lupa formatnya

      Delete
  3. Kadang saya mengecek, ternyata bila orang berkomentar dengan luar biasa "liar" kata-katanya, bukan dari akun yang asli alias hanya nama samaran; meski tidak semua.

    ReplyDelete
  4. sekarang semua serba brutal ya mb nana
    aku klo yang paling gemes pas postingan dunia ibu ibu hahhahaha, edun banget yang komen pada jago jago semua

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihi, kayaknya ibu2 tu emang cenderung emosionil (aku contohnya)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tembang Dolanan Jawa

Kolam Renang Taji, Magetan

Dokter THT di Karanganyar